MUTIARA HIKMAH

#Ibnu Mas’ud Ra: Aku tidak menyesal seperti penyesalanku terhadap sehari yang berlalu, yang berarti jatah usiaku berkurang, sementara amalku tidak bertambah.

Selamat Datang di Blog Pribadi I S N A E N I

BERDUSTA ITU MELELAHKAN

Setiap manusia, dalam interaksi dengan di luar diri dan lingkungannya, senantiasa mempunyai harapan agar keadaan sejati dirinya diterima dan dihargai orang lain secara layak. Dalam batas yang proporsional, adanya harapan itu merupakan ciri manusia normal. Pada umumnya, harapan yang bersifat intrinsik itu dapat terpuaskan jika realitas dirinya selaras dengan kehendak dan harapan orang lain.

Dalam kondisi keselarasan seperti itu, interaksi dan komunikasi dengan orang lain di luar dirinya akan berjalan harmonis, wajar, menyenangkan, dan tanpa beban. Sebagai akibatnya, ia merasakan kepuasan dan kenyamanan. Ia tak menemui problem dengan dirinya sendiri.
Masalahnya, tidak selamanya dalam hubungan dengan sesama manusia realitas sejati diri seseorang selalu selaras dengan harapan dan kehendak orang lain. Ada kalanya realitas sejati dirinya justru bertentangan dengan harapan dan kehendak orang lain yang menyebabkan sang diri mengalami disharmoni dalam interaksinya dengan orang lain serta mengindikasikan adanya problem. Dalam kondisi seperti ini seseorang akan merasa tidak nyaman, bukan hanya dengan orang lain, namun juga dengan dirinya sendiri.

Apabila sang diri menghadapi kondisi yang dirasa tidak ideal, ia akan berupaya mencari cara-cara yang dapat menghilangkan atau meminimalisasi dampak yang tidak menyenangkan yang ditimbulkannya. Boleh jadi dalam hal ini ia harus melakukan dua kemungkinan tindakan ekstrem; menenggelamkan dirinya kepada harapan dan kehendak orang lain meskipun harus bertentangan dengan realitas sejati dan mengorbankan kepribadiannya, atau meneguhkan realitas sejatinya dengan konsekuensi kehadiran realitas sejati dirinya tidak diterima di tengah lingkungannya.

Seseorang yang cenderung ingin selalu mendapat tempat dan memperoleh penghargaan dari orang lain di lingkungannya, memersepsi nilai harga diri semata-mata berkaitan dengan penerimaan dan penolakan orang lain terhadap keadaan dirinya. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan, bahkan cenderung mati-matian berupaya menenggelamkan dirinya ke dalam harapan dan kehendak orang lain. Ia siap untuk melakukan apa saja untuk merengkuh keinginannya itu, termasuk melakukan kebohongan, sampai ke tingkat merenggut otensitas keperibadiannya. Sesungguhnya, bagaimana pun situasi yang dihadapi, seseorang tidak akan berbohong kalau hati nuraninya tidak bermasalah. “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS, al-Najm [53]: 11).

Secara sunnatullah, begitu seseorang melakukan kebohongan, pada saat itulah ia sesungguhnya mulai menanam dan mengembangkan dusta di dalam dirinya. Dikatakan demikian, karena ia dapat menampilkan 'kebenaran' di mata orang lain melalui 'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual. Ibnu al-Jauzi dalam al-Thibb al-Ruhani menuturkan, bohong adalah sikap yang lahir dari dorongan nafsu demi kecintaannya pada posisi dan harga diri individunya.

Secara psikologis, dusta memerlukan pengerahan energi jiwa yang lebih banyak dan lebih berat. Sebab dirinya harus menghadapi dua tuntutan yang dalam waktu berbarengan harus dipenuhi. Pertama, tuntutan penyelarasan dengan lingkungannya. Kedua, tuntutan dari dalam diri yang senantiasa mencari kenyamanan dan keharmonisan.

Jika pemenuhan kedua tuntutan itu tidak berjalan harmonis, tak dapat dielakkan akan terjadi berbagai konflik kejiwaan yang tak berkesudahan, atau pertentangan-pertentangan jiwa yang melahirkan perasaan ‘exhaustive’ (habis-habisan mencurahkan energi). Malik bin Dinar mengatakaan, “Kejujuran dan kedustaan bertarung habis-habisan di dalam diri seseorang hingga salah satunya bias terpelanting.” Selanjutnya, kemenangan kedustaan atas kejujuran membuat jiwa akan mengalami kelelahan yang amat sangat.

Oleh sebab itu pada hakikatnya dusta merupakan bagian dari tindakan melampaui batas yang karenanya akan sangat membebani jiwanya. “..Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (beban dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (QS, Ghafir [40]: 28).
Rasulullah Saw menegaskan bahwa kebohongan akan menjadi beban yang melelahkan kepada pelakunya dalam sabdanya, “…Aku melihat dua orang yang mendatangiku dan mereka berkata, “Orang yang melihat mulutnya dikoyak tadi adalah seorang pendusta. Ia berbohong hingga kebohongannya itu dibebankan kepadanya sampai mencapai ufuk. Ia diberi beban seperti itu sampai hari Kiamat.” (HR, Bukari dan Muslim). (Insya Allah masih ada sambungannya)

0 komentar:

Posting Komentar

 

KABAR MEDIA

TARBAWI

TIPS 'n TRIK