MUTIARA HIKMAH

#Ibnu Mas’ud Ra: Aku tidak menyesal seperti penyesalanku terhadap sehari yang berlalu, yang berarti jatah usiaku berkurang, sementara amalku tidak bertambah.

Selamat Datang di Blog Pribadi I S N A E N I

Hasil Akhir Quick Count Pemilukada Indramayu Tahun 2010

Hasil Akhir Quick Count Pemilukada Kabupaten Indramayu Tahun 2010 sampai dengan Pukul 00:00 WIB data masuk 95,00% dengan perolehan suara sebagai berikut :

Nomor UrutNama Pasangan CalonPerolehan Suara (%)
1API KARPI - RAWITA5,74%
2MULTYONO. M - HANDARU. K2,31%
3GORRY SANURI - RUSLANDI11,72%
4ANNA SOPHANAH - SUPENDI60,70%
5TOTO SUCARTONO - KASAN. B4,78%
6URYANTO HADI - ABAS ABDUL. D14,75%


Quick Count dilaksanakan di 31 Kecamatan yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Indramayu.
Sumber: Yayasan Eksplorasi Potensi Indonesia (YEPI)
Read more »

Kisah Cinta Putri Pemimpin Para Nabi


Cinta tak cukup untuk menyatukan dua manusia. Tatkala jalan telah berbeda, tak kan mungkin mereka saling bersama. Namun cahaya keimanan akan mempertemukan kembali yang telah terpisahkan sekian lama.

Tersebutlah kisah tentang putri pemimpin para nabi. Terlahir dari rahim ibundanya, seorang wanita bangan Quraisy, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyyah radhiallahu ‘anhu, saat ayahnya memasuki usia tiga puluh tahun. Dia bernama Zainab radhiallahu ‘anha bintu Muhammad bin ‘Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semasa hidup ibunya, sang putri yang menawan ini disunting oleh seorang pemuda, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdisy Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Dia putra Halah bintu Khuwailid, saudari perempuan Khadijah. Ketika itu, Khadijah radhiallahu ‘anha menghadiahkan seuntai kalung untuk pengantin putrinya. Dari pernikahan itu, lahir Umamah dan ‘Ali, dua putra-putri Abul ‘Ash.

Tatkala cahaya Islam merebak, Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka hati Zainab radhiallahu ‘anha untuk menyambutnya. Namun, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ masih berada di atas agama nenek moyangnya. Dua insan di atas dua jalan yang berbeda…

Orang-orang musyrik pun mendesak Abul ‘Ash untuk menceraikan Zainab, namun Abul ‘Ash dengan tegas menolak mentah-mentah permintaan mereka. Akan tetapi, Zainab radhiallahu ‘anha masih pula tertahan untuk bertolak ke bumi hijrah.

Ramadhan tahun kedua setelah hijrah, terukir peristiwa Badr. Dalam pertempuran itu, terbunuh tujuh puluh orang dari pihak musyrikin dan tertawan tujuh puluh orang dari mereka. Di antara tawanan itu ada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’.

Penduduk Makkah pun mengirim tebusan untuk membebaskan para tawanan. Terselip di antara harta tebusan itu seuntai kalung milik Zainab radhiallahu ‘anha untuk kebebasan suaminya. Ketika melihat kalung itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenang pada Khadijah radhiallahu ‘anha yang telah tiada. Betapa terharu hati beliau mengingat putri yang dicintainya. Lalu beliau berkata pada para shahabat, “Apabila kalian bersedia membebaskan tawanan yang ditebus oleh Zainab dan mengembalikan harta tebusan yang dia berikan, lakukanlah hal itu.” Para shahabat pun menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah!”

Kemudian mereka lepaskan Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ dan mengembalikan seuntai kalung Zainab yang dijadikan harta tebusan itu.

Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Abul ‘Ash untuk berjanji agar membiarkan Zainab pergi meninggalkan negeri Makkah menuju Madinah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu bersama salah seorang Anshar sembari berkata, “Pergilah kalian ke perkampungan Ya’juj sampai bertemu dengan Zainab, lalu bawalah dia kemari.”

Berpisahlah Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas jalan Islam, meninggalkan suaminya yang masih berkubang dalam kesyirikan.

Menjelang peristiwa Fathu Makkah, Abul ‘Ash keluar dari negeri Makkah bersama rombongan dagang membawa barang-barang dagangan milik penduduk Makkah menuju Syam. Dalam perjalanannya, rombongan itu bertemu dengan seratus tujuhpuluh orang pasukan Zaid bin Haritsah yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadang rombongan dagang itu. Pasukan muslimin pun berhasil menawan mereka dan mengambil harta yang dibawa oleh rombongan musyrikin itu, namun Abul ‘Ash berhasil meloloskan diri.

Ketika gelap malam merambah, Abul ‘Ash dengan diam-diam menemui istrinya, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta perlindungan.

Subuh tiba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat berdiri menunaikan Shalat Shubuh. Saat itu, Zainab radhiallahu ‘anha berseru dengan suara lantang, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’!”

Usai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap pada para shahabat sembari bertanya, “Kalian mendengar apa yang aku dengar?” “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apa pun sampai aku mendengar apa yang baru saja kalian dengar.”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui putrinya dan berpesan, “Wahai putriku, muliakanlah dia, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu karena dirimu tidak halal baginya.” Zainab radhiallahu ‘anha menjawab, “Sesungguhnya dia datang semata untuk mencari hartanya.”

Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pasukan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu dan berkata pada mereka, “Sesungguhnya Abul ‘Ash termasuk keluarga kami sebagaimana kalian ketahui, dan kalian telah mengambil hartanya sebagai fai’ yang diberikan Allah kepada kalian. Namun aku ingin kalian berbuat kebaikan dan mengembalikan harta itu kepadanya. Akan tetapi kalau kalian enggan, maka kalian lebih berhak atas harta itu.” Para shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami akan kembalikan harta itu padanya.”

Seluruh harta yang dibawa Abul ‘Ash kembali ke tangannya dan tidak berkurang sedikit pun. Segera dia membawa harta itu kembali ke Makkah dan mengembalikan setiap harta titipan penduduk Makkah pada pemiliknya. Lalu dia bertanya, “Apakah masih ada di antara kalian yang belum mengambil kembali hartanya?” Mereka menjawab, “Semoga Allah memberikan balasan yang baik padamu. Engkau benar-benar seorang yang mulia dan memenuhi janji.” Abul ‘Ash pun kemudian menegaskan, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya! Demi Allah, tidak ada yang menahanku untuk masuk Islam saat itu, kecuali aku khawatir kalian menyangka bahwa aku memakan harta kalian. Sekarang setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala tunaikan harta itu kepada kalian masing-masing, aku masuk Islam.” Abul ‘Ash bergegas meninggalkan Makkah, hingga bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Islam.

Enam tahun bukanlah rentang waktu yang sebentar. Akhir penantian yang sekian lama pun menjelang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan putri tercintanya, Zainab radhiallahu ‘anhu kepada suaminya, Abul ‘Ash bin Ar- Rabi’ radhiallahu ‘anhu, dengan nikahnya yang dulu dan tanpa menunaikan kembali maharnya. Dua insan kini bersama meniti jalan mereka …

Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan taqdir-Nya. Tak lama setelah pertemuan itu, Zainab bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke hadapan Rabb-nya, pada tahun kedelapan setelah hijrah, meninggalkan kekasihnya untuk selamanya.

Di antara para shahabiyyah yang memandikan jenazahnya, ada Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyah radhiallahu ‘anha. Darinya terpapar kisah dimandikannya jenazah Zainab radhiallahu ‘anha, sesuai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan guyuran air bercampur daun bidara. Seusai itu, rambut Zainab radhiallahu ‘anha dijalin menjadi tiga jalinan. Jenazahnya dibungkus dengan kain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Putri pemimpin para nabi itu telah pergi…
Read more »

Pelaku maksiat pun bisa masuk Surga

Al-Kifli adalah seorang pemuda Bani Israil, yang tak pernah lepas dari dunia maksiat. Suatu ketika ia tertarik dengan kecantikan seorang wanita. Lalu ia memberikan uang kepada wanita itu sebanyak 60 dinar.
Ketika dalam posisi sebagaimana seorang suami menggauli isterinya, tiba-tiba wanita itu gemetar. Al-Kifli bertanya, "Apakah aku memaksamu melakukan ini?" Wanita itu menjawab, "Tidak, hanya saja perbuatan ini belum pernah aku lakukan seumur hidupku. Aku lakukan ini semata-mata demi memenuhi kebutuhan hidupku."

Al-Kifli berkata, "Berarti kamu takut kepada Allah untuk memenuhi ajakanku ini sementara aku tidak takut kepadaNya." Kemudian al-Kifli meninggalkan wanita tersebut dan menghadiahkan uang tersebut kepadanya.

Ia berkata, "Al-Kifli tidak akan pernah bermaksiat lagi kepada Allah." Pada malam hari itu ia mati sementara keesokan harinya di pintu rumahnya terdapat tulisan bahwa Allah telah mengampuni dosa al-Kifli. (Nurul Iqtibas, hal 36.)
Read more »

Ku pikir Thalut memang benar

Dikisahkan zaman dulu ada seorang raja, namanya Thalut. dalam satu kesempatan terpaksa harus menghadapi kesombongan raja Jalut dengan kekuatan.
pada saat pasukannya sudah lelah berjalan menuju lokasi pertempuran, ia menyerukan kepada pasukannya: "wahai tentaraku, di depan kita ada sebuah sungai, aku ingatkan jangan kalian minum airnya kecuali seciduk telapak tangan. barangsiapa yang meminumnya lebih dari itu, maka ia bukan pasukanku, dan barangsiapa yang tidak minum atau minum tapi seciduk telapak tangannya, maka dialah pasukanku".
tapi ternyata setelah pasukannya sampai ke sungai tersebut, mayoritas tentaranya tidak tahan melihat air, berhamburanlah mereka ke sungai dan minum sepuasnya, sampai ada yang menyelam segala. hanya sedikit yang mentaati perintah raja.
setelah itu perjalananpun dilanjutkan hingga akhirnya pasukan Thalut tiba-tiba sudah berhadap-hadapan dengan pasukan Jalut. para tentara yang minum air sungai dengan puas-puasan tadi menjadi lemah mentalnya, mereka takut mati, shok melihat kekuatan pasukan lawan yang lebih banyak dan lebih lengkap peralatannya. akhirnya mereka mengatakan "wah kita gak mungkin bisa menang melawan mereka". akan tetapi orang-orang yang tidak minum kecuali sedikit, mereka mengatakan "jangan takut, betapa banyak kejadian, jumlah yang sedikit dapat mengalahkan jumlah yang banyak dengan izin Allah".
akhirnya perangpun terjadi, dan ucapan mereka menjadi kenyataan. mereka memenangkan pertarungan walau dengan kondisi kekurangan.
Ku pikir sering sekali kita menyaksikan fenomena seperti ini. fenomena para aktifis yang tidak tahan dengan ujian kesenangan. mereka begitu terlihat perubahannya setelah berhasil meraih jabatannya, padahal jabatannya itu ibarat sungai. mereka puaskan dahaga yang selama masa-masa perjuangan tidak menemukan air. bukan hanya minum seceguk dua ceguk tapi mereka menyelam!! hingga lupa bahwa perjalannya belum selesai, ia akan menghadapi tentara musuh yang amat siap dengan segala kekuatannya.
para aktifis tertipu ini menyangka bahwa sungai itu tujuan akhir perjalanannya, mereka menyangka ini adalah tamasya ke sungai!!! padahal ia sedang menuju kepada kematian mentalnya.
maka kupikir perintah Thalut itu benar sekali,... yang melanggar perintah divonis bukan pasukannya..!
Read more »

Tugas Mukmin Di Bulan Ramadhan

Pada bulan Ramadhan, seorang Mukmin mempunyai beberapa tugas syar’i. Tugas-tugas ini sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sunnah qauliyah (perkataan) beliau, juga praktek-praktek beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan. Nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepada para hamba pada bulan ini lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain.
Tugas-tugas ini mencakup banyak persoalan hukum syar’i, yang meliputi seluruh amalan selama satu bulan yang penuh dengan amal kebaikan dan ketaqwaan.

PERTAMA : SHIYAM (PUASA).
Secara umum, shiyâm (puasa) memiliki keutamaan yang besar. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah.

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلْفَةُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

"Semua amal perbuatan bani Adam adalah kepunyaan bani Adam sendiri, kecuali puasa. Puasa itu kepunyaanKu, dan Aku yang akan memberikan balasan. Maka, demi Dzat yang nyawa Muhammad ada ditanganNya, sungguh di sisi Allâh, aroma mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih harum daripada minyak kasturi".

Imam Mazari rahimahullah dalam kitab al Mu’lim Bifawâ-idi Muslim (2/41), mengatakan, “Dalam hadits qudsi ini, Allâh Azza wa Jalla secara khusus menyebut puasa sebagai “milikKu”, padahal semua perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas juga milikNya; karena dalam puasa tidak mungkin (kecil kemungkinan-red) ada riyâ’, sebagaimana pada perbuatan-perbuatan selainnya. Karena puasa itu perbuatan menahan diri dan menahan lapar, sementara orang yang menahan diri -baik karena sudah kenyang atau pun karena miskin- zhahirnya sama saja dengan orang yang menahan diri dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Niat serta motivasi yang tersimpan dalam hatilah yang memiliki peranan penting dalam masalah ini. Sedangkan shalat, haji dan zakat merupakan perbuatan-perbuatan lahiriyah yang berpotensi menimbulkan riya’ [2] dan sum’ah [3]. Oleh karena itu, puasa dikhususkan sebagai milik Allâh sementara yang lainnya tidak."

Disamping keutamaan yang bersifat umum ini ada keutamaan khusus yang melekat dengan bulan Ramadhân, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang puasa Ramadhân karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".[4]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

شَهْرُ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ

"Satu bulan sabar (berpuasa Ramadhân) ditambah tiga hari puasa pada setiap bulan, sama dengan puasa satu tahun".[5]

Yang dimaksud dengan bulan sabar yaitu bulan Ramadhan [6]. Ibnu Abdil Barr rahimahullah [7] menjelaskan,“Dalam kamus Lisânul Arab, shaum juga bermakna sabar. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". [az-Zumar/39:10]

Abu Bakar Ibnul Anbari mengatakan,"Shaum (puasa) itu dinamakan sabar, karena puasa adalah menahan diri dari makan, minum, berkumpul suami-istri serta menahan diri dari syahwat."

KEDUA : QIYAMULLAIL (TARAWIH)
Shalat tarawih ini sunnahnya dikerjakan secara berjama’ah selama bulan Ramadhân. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai, maka ditetapkan pahala baginya, seperti shalat sepanjang malam".[8]

Dalam menerangkan keutamaan shalat tarawih ini Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat" [9].

Petunjuk terbaik tentang jumlah raka’at shalat malam pada bulan Ramadhân atau bulan lainnya, ialah petunjuk yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari perbuatan beliau, yaitu shalat 11 raka’at. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam panutan yang sempurna.

KETIGA : SHADAQAH.
Kedermawanan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam paling menonjol pada bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm pada bulan-bulan yang lain [10].

Kedermawanan ini mencakup semua arti shadaqah dan semua jenis perbuatan baik. Karena kedermawanan itu banyak memberi dan sering memberi [11]. Dan ini mencakup berbagai macam amal kebajikan dan perbuatan baik.

KEEMPAT : MEMBERIKAN BUKA PUASA KEPADA ORANG YANG BERPUASA
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk melakukannya dan memberitahukan pahala yang sangat besar sebagai hasil yang bisa mereka raih. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberikan makanan buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala, sebagaimana pahala orang yangberpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa".[12]

KELIMA : MEMBACA AL-QUR'AN.
Bulan Ramadhan, merupakan bulan al-Qur’an, sebagaimana difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla.

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)". [al-Baqarah/2:185].

Dalam sunnah ‘amaliyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terdapat keterangan tentang praktik nyatanya. Jibril Alaihissallam mengajak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertadarus al-Qur’ânpada setiap malam bulan Ramadhân [13].

KEENAM : UMRAH
Imam Bukhâri rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِيْ

"Umrah pada bulan Ramadhân sama dengan haji bersamaku".

Perhatikanlah keutamaan ini -semoga Allâh merahmati anda sekalian-. Alangkah besar dan alangkah afdhalnya.

KETUJUH : MENCARI LAILATUL QADAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’ân pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu, apakah malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan". [al-Qadr/97:1-3].

Dalam kitab shahih Bukhâri dan Muslim ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa shalat pada malam qadar karena iman dan karena ingin mencari pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".

Lailatul qadar itu berada pada malam-malam ganjil sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhân. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi rahimahulllah dan Ibnu Mâjah rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau Radhiyallahu 'anha bercerita :

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَقُوْلُ قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Wahai Rasûlullâh, apakah yang aku katakan, jika aku mendapati lailatul qadar? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Katakanlah :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Ya Allâh, sesungguhnya engkau Maha Pemberi Maaf, maka maafkanlah aku."

Demikianlah ringkasan beberapa tugas pokok yang semestinya dilaksanakan oleh seorang muslim pada bulan yang penuh barakah ini. Adapun tugas selengkapnya yang wajib dijaga oleh seorang muslim pada bulan ini yaitu menahan diri dari segala perbuatan jelek, sabar terhadap penderitaan, menjaga hati dan melaksanakan kewajiban lahir, dengan cara konsisten menjalankan hukum-hukum Islam dan mengikuti sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Read more »

Hati-Hati Mengklik Pilihan “Dislike” pada Facebook


LONDON--Jika anda termasuk diantara ratusan orang di seluruh dunia yang menggunakan Facebook, mungkin anda harus waspada sebelum mengklik aplikasi baru atau link pada situs jejaring sosial.

Sophos, perusahaan keamanan komputer berbasis di Inggris, memperingatkan tentang sebuah tipuan di Facebook yang mengundang para pengguna untuk memasang fitur “dislike”.

Tipuan itu memperdaya para pengguna untuk memungkinkan aplikasi nakal mengakses halaman profile mereka yang kemudian memasang pesan-pesan tipuan dan menyebar sendiri dengan mengundang teman-teman di Facebook untuk mendapatkan fitur dislike itu.

Aplikasi itu juga berusaha memperdaya pengguna supaya mengisi sebuah survei online.

Menurut Sophos kotak pilihan “dislike” itu merupakan yang paling baru dalam serangkaian penipuan di Facebook termasuk link yang mengaku mengarahkan pada video lucu atau mengagetkan.

Facebook sudah menggunakan fitur “like” bagi pengguna untuk menunjukkan mereka suka pada sesuatu di halaman Facebook teman, biasanya dengan komentar, posting, atau foto.

Fitur “like” telah membuat banyak pengguna Facebook menginginkan pilihan “dislike” untuk mengimbanginya yang membuat pilihan “dislike” bermanfaat bagi para scammer.
Read more »

Sepuluh Hikmah Bersiwak Saat Puasa


Kebersihan merupakan hal yang didamba bagi semua orang. Karena dari kebersihan, dapat melahirkan pola hidup sehat. Di bulan Ramadhan ini, kebersihan pun tetap harus terjaga. Baik kebersihan jasmani maupun rohani. Kebersihan jasmani meliputi bersih badan dan anggota tubuh sewaktu hendak melakukan ibadah. Sedangkan bersih rohani, bersihnya hati dari berbagai penyakit hati.
Bersih jasmani bagi orang yang berpuasa patut dipelihara, termasuk kebersihan mulut. Saat berpuasa, umat Muslim hanya menyikat gigi saat sahur dan berbuka. Oleh karenanya mengapa orang yang berpuasa dianjurkan untuk bersiwak. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Shalat dengan bersiwak itu lebih utama daripada 70 shalat tanpa bersiwak lebih dahulu." Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim, Rasul bersabda, "Andaikan aku tidak khawatir memberatkan atas umatku, niscaya aku wajibkan atas mereka bersiwak (gosok gigi) pada tiap-tiap shalat."

Hadits tersebut memberikan isyarat bahwa Rasul menginginkan umatnya untuk senantiasa membersihkan gigi setiap hendak melakukan shalat, jika umat tersebut tidak merasa keberatan. Karena, bersiwak merupakan sunnah yang sangat dianjurkan. Tak sekedar dianjurkan, bersiwak (menyikat gigi) juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi, gusi, tenggorokan, dan mulut.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Bukhori juga disebutkan, "Hendaklah kalian selalu bersiwak. Karena dalam bersiwak itu ada sepuluh perkara terpuji. Sepuluh perkara tersebut yaitu:

Pertama, dapat membersihkan mulut. Bersiwak, yang saat ini lebih masyhur disebut dengan sikat gigi jelas dapat membersihkan mulut. Tak hanya membersihkan mulut, menyikat gigi secara rutin dan benar juga mempengaruhi kesehatan gigi dan gusi.

Kedua, membuat Allah ridho. Tak diragukan lagi, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang yang membersihkan diri. Berwudhu, mandi, bahkan menyikat gigi ialah kegiatan yang ditujukan demi bersih dan sucinya anggota tubuh. Tiada hal yang dapat menghalangi ridho Allah untuk seorang hamba yang berniat membersihkan diri dalam rangka beribadah dan dekat kepada-Nya.

Ketiga, membuat setan marah. Mengapa setan bisa marah jika kita menggosok gigi? Sebab setan tidak suka terhadap hal-hal yang bersih. Jika kita bersiwak, itu berarti kita membersihkan diri dan menghindari diri dari kekotoran. Karena setan lebih menyukai hal-hal yang kotor, ia murka terhadap hamba-hamba Allah yang senantiasa menerapkan hidup bersih dan sehat.

Keempat, dicintai Allah dan malaikat pencatat amal. Segala sesuatu yang diniatkan dari hati, pasti akan dicatat oleh Allah dan malaikat pencatat amal baik. Karena Allah amat mencintai kebersihan dan keindahan, tentu Allah juga mencintai hamba-hambaNya yang beristiqomah untuk menerapkan gaya hidup bersih dan sehat. Dengan menyikat gigi secara teratur demi terciptanya kesehatan jasmani, insya Allah perbuatan tersebut dinilai Allah sebagai ibadah.

Kelima, dapat menguatkan gusi. Rutinitas menggosok gigi, jika dilakukan secara benar tentu dapat bermanfaat bagi kesehatan dan kekuatan gusi. Dalam ilmu kesehatan gigi, makanan yang kita konsumsi, setidaknya terdapat zat asam. Zat asam tersebut dapat mengikis email pada gigi. Dapat terbayangkan jika kita jarang menyikat gigi. Jangka panjangnya, email pada gigi tersebut dapat membentuk lubang-lubang mikro.

Keenam, dapat menghilangkan lendir (pada tenggorokan). Tenggorokan kita tidak 24 jam dalam keadaan bersih. Adakalanya lendir-lendir timbul dan membuat kesehatan mulut dan tenggorokan terganggu. Lendir itu pun akan timbul jika intensitas menyikat gigi kita sangat jarang. Oleh karenanya mengapa disunnahkan menyikat gigi sebelum shalat, fungsi utamanya ialah kesehatan dan kesegaran saluran pencernaan tetap terjaga.

Ketujuh, dapat menyegarkan napas. Selain bermanfaat untuk kesehatan gigi dan gusi, menyikat gigi juga dapat menyegarkan napas. Pada zaman Nabi SAW, siwak yang dipilih pun tentunya berkualitas. Meski tidak terdapat fluoride, siwak yang Nabi gunakan sebelum beliau melaksanakan shalat mampu membersihkan gigi, gusi dan memberikan kesegaran pada napas.

Kedelapan, dapat membersihkan mulut dari cairan yang tidak berguna. Dalam mulut dan gigi kita tentu terdapat bakteri dan kuman jika jarang dibersihkan. Cairan yang tidak berguna, saat bercampur dengan lendir ditambah frekuensi menyikat gigi yang jarang, akan menyebabkan karies tumbuh di sela-sela gigi.

Kesembilan, dapat menguatkan pandangan mata. Jika kita menelaah kembali etika atau adab menuntut ilmu dalam kitab Ta’lim Muta’lim, kitab yang telah dipakai sebagai pegangan dalam menuntut ilmu menyebutkan bahwa bersiwak (menyikat gigi) secara rutin dan benar dapat menguatkan pandangan mata. Mengapa? Jika kesehatan mulut terjaga, penglihatan pun dapat bekerja secara maksimal. Ringkasnya, kesehatan gigi dan mulut mempengaruhi fungsi panca indera, termasuk mata.

Kesepuluh, dapat menghilangkan bau busuk di mulut. Menyikat gigi secara teratur dan benar tentu selain gigi, gusi dan pernapasan sehat, bau tak sedap di mulut pun akan berkurang. Sehingga, dalam kondisi berpuasa, tak perlu lagi merasa mulut kita mengeluarkan bau tak sedap. Puasa, jika diimbangi dengan keteraturan kita membersihkan gigi, tentu akan menghasilkan puasa yang maksimal. Insya Allah.
Read more »

Adab Menjalankan Ibadah Puasa


JAKARTA--Puasa merupakan salah satu ibadah yang paling utama dan agung. Shaum merupakan sarana untuk mendekatkan seorang hamba dengan Sang Pencipta, Allah SWT. Terlebih, puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Ibadah yang satu ini memiliki pahala yang sangat besar di sisi Allah SWT.
Menurut Syekh Abdul Azis bin Fathi asSayyid Nada, dalam kitab Mausuu'atul Aadaab al-Islamiyah, keutamaan dan ke agungan ibadah puasa itu bisa diraih ma nakala seorang Muslim menjalankannya dengan cara yang disyariatkan dan memperhatikan adab-adabnya. Berikut ini adab-adab yang perlu diperhatikan seorang Muslim ketika berpuasa:

Pertama, niat yang baik.

Menurut Syekh Sayyid Nada, hendaklah orang yang berpuasa berniat untuk mencari ridha Allah SWT, serta mencari pahala dan balasan yang dijanjikan atas orang yang berpuasa.

"Di samping itu, ia pun berniat untuk melaksanakan hak Allah yang diwajibkan atasnya jika itu puasa wajib seperti puasa Ramadhan," tutur Syekh Sayyid Nada. Bisa juga seseorang meniatkan puasanya untuk meraih takwa, sebagaimana yang tercantum dalam Alquran surah Albaqarah ayat 183.

Kedua, bersahur walaupun hanya minum seteguk air.

Nabi SAW menganjurkan bersahur, bahkan Rasulullah SAW memerintahkan
sahur melalui sabdanya, "Bersahurlah karena pada makan sahur terdapat berkah." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Perbedaan antara puasa kami dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur."

(HR Muslim).

Pada hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Bersahurlah walaupu hanya meminum seteguk air." (HR Ibnu Hibban). Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah SAW juga bersabda, "Sebaik-baiknya makanan sahur orang Mukmin adalah kurma."

Ketiga, mengakhirkan makan sahur.

Mengakhirkan makan sahur termasuk sunah Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW telah menganjurkan umatnya untuk mengakhirkan makan sahur. Rasulullah bersabda, "Bersegeralah berbuka dan akhirkanlah makan sahur." (HR Ibnu 'Adiy).

Menurut Syekh Sayyid Nada, sahur bertujuan agar seseorang lebih kuat dalam berpuasa, lebih banyak berkahnya, serta meneladani perbuatan Nabi SAW. Diriwayatkan dari Zaid bi Tsabit RA, ia berkata, "Kami pernah sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian kami bangkit untuk mengerjakan shalat. Anas berkata kepadanya: "Berapa jarak waktu antara keduanya?" Ia berkata: "Jaraknya sekitar bacaan lima puluh ayat." (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat, tak berlebihan dalam makan sahur.

Menurut Syekh Sayyid Nada, makan sahur yang berlebihan dapat memudha ratkan diri seseorang, yakni dapat menyebabkan sakit perut, berat mengerjakan ibadah, dan mungkin bisa membuatnya tidur hingga waktu Zhuhur. Makan sahur berlebihan juga bertentangan dengan hikmah puasa.

Kelima, menjaga anggota tubuh ketika berpuasa.

Ketika berpuasa, kata Syekh Sayyid Nada, seorang Muslim hendaknya menjaga anggota tubuhnya, terutama mata. Karena mata, tutur ulama terkemuka itu, bisa menimbulkan bahaya yang sangat besar, maka wajib menundukkannya dari apa-apa yang diharamkan Allah SWT.

"Apabila seseorang menjaga anggota tubuhnya: mata, tangan, lisan, telinga, kemaluan, dan kaki dari apa-apa yang diharamkan Allah selama berpuasa, maka ia akan terbiasa melakukan hal tersebut, sehingga menjadi kebiasaan," paparnya. Menurut Syekh Sayyid Nada, orang yang berpuasa hendaknya menahan pandangan dari apa-apa yang diharamkan Allah SWT, serta menjaga lisannya dari menggunjing dan mengadu domba.

Keenam, sabar dan tak berbuat jahat.

Syekh Sayyid Nada menegaskan, janganlah seseorang membalas perbuatan jahat dengan yang semisalnya. Janganlah membalas orang yang mencacinya, tetapi hendaklah tabah, sabar dan menahan diri ketika marah. Rasulullah SAW bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia berbuat keji dan jahat. Jika ada orang mencaci atau mengganggunya, hendaklah ia berkata; 'Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa'." (HR Bukhari-Muslim).

Ketujuh, memperbanyak amal kebaikan.

Saat berpuasa, dianjurkan bagi seorang Muslim untuk mengisi waktunya dengan berzikir dan berdoa, memohon ampun, membaca Alquran, memperbanyak sedekah, menyediakan makanan berbuka semata-mata untuk mencari balasan pahala, menyambung tali silaturahim, melakukan kebaikan-kebaikan dan amal-amal yang lainnya.

Kedelapan, menyegerakan berbuka.

Menyegerakan berbuka termasuk sunah Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda, " Segerakanlah berbuka ... ". Dalam hadis lainnya, Nabi SAW bersabda, "Manusia tetap berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR Bukhari). Selain itu, saat berbuka disunahkan memakan kurma agar lebih meringankan pencernaan dan memberikan lebih banyak manfaat.
Read more »

Lebih Penting Khilafah ataukah Dakwah Tauhid?

Boleh jadi, banyak orang beranggapan bahwa masalah tauhid itu penting dan utama, bahkan wajib. Anggapan ini seratus persen benar. Namun, karena dalam kacamata sebagian orang, tauhid itu -meskipun penting dan utama, bahkan wajib- sempit cakupannya atau ‘terlalu’ mudah untuk direalisasikan -dan bahkan menurut mereka praktek dan pemahaman tauhid pada diri masyarakat sudah beres semuanya- maka akhirnya banyak di antara mereka yang meremehkan atau bahkan melecehkan da’i-da’i yang senantiasa mendengung-dengungkannya.
Terkadang muncul celetukan di antara mereka, “Kalian ini ketinggalan jaman, hari gini masih bicara tauhid?”. Atau yang lebih halus lagi berkata, “Agenda kita sekarang bukan lagi masalah TBC -takhayul, bid’ah dan churafat-, sekarang kita harus lebih perhatian terhadap agenda kemanusiaan.” Atau yang lebih cerdik lagi berkata, “Kalau kita meributkan masalah aqidah umat itu artinya kita su’udzan kepada sesama muslim, padahal su’udzan itu dosa! Jangan kalian usik mereka, yang penting kita bersatu dalam satu barisan demi tegaknya khilafah!”. Allahul musta’aan…

Sampai Kapan Kita Bicara Tauhid?

Tauhid adalah agenda terbesar umat Islam di sepanjang zaman. Sebab tauhid adalah hikmah penciptaan, tujuan hidup setiap insan, misi dakwah para nabi dan rasul, dan muatan kitab-kitab suci yang Allah turunkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang menyeru-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami utus sebelum kamu -hai Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepada mereka, bahwasanya tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

Bahkan, tauhid adalah syarat pokok diterimanya amalan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, apabila kamu berbuat syirik maka benar-benar semua amalanmu akan terhapus, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Lebih daripada itu, kemusyrikan -sebagai lawan dari tauhid- menjadi sebab seorang hamba terhalang masuk surga untuk selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, seluruhnya adalah untuk Allah Rabb seluruh alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang yang pertama kali pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163).

Oleh sebab itu, berbicara masalah tauhid berarti berbicara mengenai hidup matinya kaum muslimin dan keselamatan mereka di dunia maupun di akherat. Berbicara masalah tauhid adalah berbicara tentang tugas mereka sepanjang hayat masih dikandung badan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian.” (QS. al-Hijr: 99). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dia pasti masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu). Maka dengan alasan apakah agenda yang sangat besar ini dikesampingkan?

Kami Berjuang Demi Membela Hak-Hak Manusia!

Seruan semacam ini sering kita dengar. Dan banyak sekali kalangan yang tertipu dan terbius dengannya, sampai-sampai sebagian aktifis gerakan dakwah pun termakan oleh slogan ini. Padahal, di balik slogan -yang terdengar merdu ini- tersimpan rencana jahat Iblis dan bala tentaranya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah ta’ala, yaitu jalan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah, di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).

Hak-hak manusia sedemikian agung dalam pandangan mereka. Mereka benci dan murka apabila hak-hak manusia dihinakan dan diinjak-injak oleh sesamanya. Mereka pun bangkit dengan mengatasnamakan pejuang hak azasi manusia, pembela rakyat kecil, pembela kaum tertindas, dan gelaran-gelaran ‘keren’ lainnya. Orang-orang pun merasa tertuntut untuk mendukung mereka, karena mereka khawatir disebut tidak punya kepedulian terhadap sesama. Dan yang lebih busuk lagi, kalau ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk meraih ambisi kekuasaan belaka!

Padahal, hak-hak manusia -sebesar apapun jasanya, semulia apapun kedudukannya- tetap saja masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan hak Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan dan mengatur jagad raya. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan agar dakwah tauhid didahulukan sebelum ajakan-ajakan yang lainnya. Beliau bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma). Demikian pula beliau mengajarkan kepada kita, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu). Namun, jangan disalahpahami bahwa ini berarti kita meremehkan hak-hak manusia, sama sekali tidak!

Jangan Bicara Masalah Bid’ah!

Ungkapan semacam ini pun sering terlontar. Dalam persepsi mereka, bid’ah itu adalah masalah sensitif yang tidak perlu diungkit-ungkit. Mengapa demikian? Karena dengan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan menjelaskan amalan-amalan serta keyakinan-keyakinan yang bid’ah akan menyebabkan timbulnya konflik internal di dalam tubuh kaum muslimin, dan menurut ‘hemat mereka’ hal itu akan melemahkan kekuatan kaum muslimin dan memecah belah persatuan mereka. Sepintas, sepertinya ini adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima… Namun, jangan terburu-buru! Karena ternyata cara berpikir semacam ini tidak dibenarkan oleh agama.

Sebelumnya, kita yakini bersama bahwa bid’ah adalah tercela dan sesat. Allah tidak menerima ibadah yang dilakukan namun tidak ada tuntunannya alias diada-adakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha). Sebagian ulama salaf juga berkata, “Bid’ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih ada kemungkinan diharapkan taubat darinya. Adapun bid’ah, maka sulit diharapkan taubat darinya.” Selain itu, sebagaimana kita yakini pula bahwa dalam berdakwah kita harus bersikap bijak, tidak boleh serampangan atau asal-asalan. Bahkan, sikap bijak/hikmah merupakan pilar dalam dakwah. Namun, bersikap bijak bukan dengan cara membiarkan kemungkaran merajalela tanpa pengingkaran kepadanya.

Tatkala bid’ah menjadi penghalang diterimanya amalan, bahkan ia termasuk kategori dosa dan kemungkaran, maka sudah sewajarnya seorang da’i memperingatkan bahayanya dan menjelaskannya kepada umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di setiap khutbah Jum’at beliau selalu memperingatkan umat dari bahaya bid’ah dan mengingatkan mereka bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan yang berujung kepada kehancuran, sebagaimana yang tertera di dalam khutbatul hajah di setiap awal ceramah. Oleh sebab itu para ulama menganggap bahwa orang yang membantah ahlul bid’ah adalah termasuk golongan mujahid!

Tidakkah anda ingat bagaimana sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dengan ilmu sunnah yang dimilikinya dengan tegas membantah dan berlepas diri dari bid’ah Qadariyah yang muncul di masanya? Demikian pula para ulama salaf lainnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang dengan tegar mempertahankan aqidah al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk, dan masih banyak ulama lain yang melakukan perjuangan serupa seperti mereka berdua dengan segala resiko yang harus mereka tanggung di jalan dakwah ini. Maka apabila kita telah mengetahui itu semua, jelaslah bagi kita bahwa seorang da’i yang tidak menempuh jalan ini -memperingatkan umat dari bahaya bid’ah- itu maknanya dia telah berkhianat terhadap amanah dakwah. Karena ‘pengkhianatannya’ itulah statusnya akan berubah dari seorang da’i ilallah -orang yang mengajak kepada Allah- menjadi da’i ila ghairillah -orang yang mengajak kepada selain Allah-! Nas’alullahas salamah

Jangan Merasa Paling Benar!

Sebagian orang ketika ditegur dan diingatkan untuk meninggalkan atau menjauhi perkara-perkara yang menyimpang dari agama -karena bertentangan dengan al-Qur’an ataupun as-Sunnah- dengan ringannya mengucapkan perkataan semacam itu. Entah penyimpangan itu terkait dengan aqidah, ibadah, ataupun masalah yang lainnya. Entah itu termasuk dalam kategori syirik, kekafiran, kebid’ahan ataupun kemaksiatan yang lainnya. Belum lagi, jika orang tersebut memiliki sedikit ‘ilmu’ dan wawasan, maka dengan sigapnya dia akan ‘memperkosa’ dalil demi melanggengkan tindakannya yang keliru. Keras kepala, itulah sifat yang melekat dalam dirinya. Kalau dicermati lebih dalam, justru ternyata sikapnya yang tidak mau menerima nasehat dan teguran itu merupakan bentuk kesombongan dan ekspresi perasaan diri yang paling benar [!], Wal ‘iyadzu billah…

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim atas segala perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat, untuk Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu).


Tauhid Sudah Ada di Dada-Dada Manusia!

Sebagian orang mengucapkan perkataan semacam ini, sehingga secara sadar ataupun tidak dia telah menjauhkan manusia dari dakwah tauhid. Berangkat dari asumsi yang salah itulah maka mereka tidak lagi memberikan porsi besar bagi dakwah tauhid. Mereka pun beralih ke kancah perpolitikan ala Yahudi dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang menyeret mereka dalam kehinaan. Apabila dikaji sebabnya, maka hanya ada dua kesimpulan; mungkin karena ketidaktahuannya sehingga dengan mudahnya dia berkata demikian, atau karena dia mengetahui kebenaran namun sengaja berpaling darinya. Dan keduanya ini apabila menimpa seorang yang digelari sebagai da’i, ustadz ataupun murabbi merupakan realita yang sangat pahit sekali. Oleh sebab itu, kita perlu meluruskannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid bukan sekedar ucapan la ilaha illallah yang tidak diiringi dengan konsekuensinya. Orang-orang munafikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan la ilaha illallah, akan tetapi mereka divonis akan menempati kerak neraka yang paling bawah. Hal itu tidak lain karena mereka tidak jujur dalam mengucapkannya. Tauhid juga bukanlah sekedar keyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan serta yang melimpahkan rezki, bukan itu saja! Sebab apabila memang itu tauhid yang dimaksud oleh dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya beliau tidak perlu mengobarkan peperangan kepada kaum kuffar Quraisy yang telah mengimani perkara-perkara itu.

Jangan Runtuhkan Persatuan!

Apabila para da’i berbicara tentang tauhid dan membantah berbagai macam bentuk kemusyrikan yang ada serta menjelaskan sunnah dan membongkar berbagai macam bentuk bid’ah yang merajalela, maka bangkitlah sebagian orang dengan semangat bak pahlawan seraya berteriak, “Mengapa kalian sibukkan umat dengan urusan semacam ini? Umat akan terpecah belah akibat dakwah kalian.” Inilah komentar-komentar sinis yang mereka lontarkan. Padahal, kita telah mengetahui bersama bahwa persatuan kaum muslimin yang hakiki -yang dengannya mereka akan selamat di hadapan Rabbnya- adalah persatuan di atas tauhid dan sunnah, bukan persatuan di atas syirik dan bid’ah! Orang-orang yang gemar menebar syirik dan bid’ah -dengan dipoles berbagai macam hiasan- maka mereka itulah sesungguhnya gerombolan pemecah belah dan pengacau persatuan!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka niscaya Kami akan biarkan dia terombang-ambing di atas kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak akan bermanfaat harta dan keturunan, melainkan bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- orang-orang yang -dahulu ketika di dunia- saling berkasih sayang berubah menjadi saling memusuhi, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67). Allah ta’ala juga berfirman mengenai seruan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah, Dialah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia -saja-. Inilah jalan yang lurus.” (QS. az-Zukhruf: 64). Allah ta’ala berfirman tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain itu, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia perintahkan kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)

Khilafah, Itu Solusinya!

Sebagian gerakan Islam yang telah kehilangan arah dan lalai dari misi dakwah para rasul sangat getol mendengung-dengungkan slogan ini. Menurut mereka, tanpa khilafah berarti tiada syari’ah. Tanpa khilafah, kaum muslimin tidak bisa berbuat apa-apa. Maka jadilah khilafah sebagai target perjuangan dan misi utama dakwah mereka. Tidak ada satupun problema di masyarakat atau negara melainkan mereka sangkut-sangkutkan dengan khilafah dan politik kekuasaan. Mereka menuding para da’i tauhid sebagai da’i kampungan yang tidak bisa bicara kecuali masalah-masalah sepele. Tidak bisa mengatasi masalah bangsa, tidak punya visi ke depan demi kejayaan umat, dan lain sebagainya.

Padahal, kita semua tahu bahwa bangunan umat ini tidak akan tegak dan kokoh kecuali di atas aqidah yang kuat dan murni. Seorang muslim dengan aqidah yang kokoh akan dengan sukarela menerapkan syari’ah dalam kehidupannya sekuat kemampuannya, meskipun misalnya ternyata khilafah belum mampu mereka wujudkan karena kondisi umat yang masih berlumuran dengan kotoran-kotoran keyakinan dan bid’ah yang sedemikian luas menjangkiti anak bangsa dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan melindas lembaran sejarah sedemikian lama.

Perubahan ini membutuhkan proses yang bertahap, tidak bisa terjadi secara tiba-tiba seperti membalikkan telapak tangan begitu saja. Hal ini dapat kita saksikan dalam individu-individu kaum muslimin. Yang mana perubahan menjadi baik itu memerlukan proses dan tahap yang tidak sebentar. Nah, bagaimana lagi dengan sekelompok orang yang memiliki beragam problema, sebuah negara, apalagi kumpulan negara dengan jutaan masalah yang menghimpit warga negara mereka masing-masing? Tentu merubahnya tidak cukup dengan teriakan dan slogan semata. Kembali kepada syari’ah tidak seratus persen bergantung pada khilafah. Betapa banyak syari’at yang bisa diterapkan oleh seorang individu umat ini, sebuah keluarga atau sekumpulan orang tanpa perlu menunggu tegaknya khilafah. Tidak ada yang salah dalam merindukan khilafah, akan tetapi tatkala khilafah menjadi tujuan dan cita-cita dakwah maka silahkan anda jawab sendiri pertanyaan ini; Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan tujuan mendirikan khilafah, ataukah menegakkan tauhid?

Dari situlah perlu kita camkan wahai saudaraku, bahwa tidak akan berhasil upaya apapun yang ditempuh oleh gerakan mana saja selama mereka lebih memilih jalannya sendiri dan tidak mau mengikuti jejak para pendahulu mereka. Imam Malik rahimahullah telah mengingatkan, “Tidak akan baik urusan akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hal itu gara-gara mengikuti pendapat seseorang.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan sebab Kitab ini -al-Qur’an- dan akan menghinakan sebagian kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Sungguh benar ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun tidak berhasil mendapatkannya.” Betapa banyak orang yang mengira dirinya pejuang Islam, mujahid dakwah, da’i kebenaran, namun ternyata mereka salah jalan dan justru menjadi musuh Islam dari dalam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kuberitakan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia akan tetapi mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)

Saudaraku, betapa banyak rumah yang roboh bukan karena tiupan angin kencang ataupun terpaan banjir bandang. Akan tetapi ia roboh karena pondasinya yang tidak kokoh, karena pilar-pilarnya yang begitu lemah, tidak kuat menopang dinding dan atap serta barang-barang berat yang ada di dalamnya, sehingga tatkala getaran kecil gempa menyapa maka luluh lantaklah seluruh sendi-sendinya dan runtuhlah rumah itu menimpa pemiliknya! Maka demikianlah perumpamaan orang-orang yang mengimpikan kekuasaan dan khilafah namun menyingkirkan agenda terbesar umat Islam yang sesungguhnya. Jadi, sepenting apakah tauhid itu? Kini anda telah bisa menjawabnya.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Read more »

Muhammadiyah Jatim Tetapkan Awal Ramadhan 11 Agustus 2010


Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur berdasarkan hasil hisab menetapkan 1 Ramadhan 1431 Hijriyah jatuh pada 11 Agustus 2010. "Penetapan itu sesuai dengan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah," kata Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, di Surabaya.
Dijelaskannya, awal Ramadhan tahun ini dimulai pada Rabu legi, 11 Agustus 2010. Ini, kata Nadjib, karena ijtima` akhir Sya`ban terjadi pada Selasa, 10 Agustus, bertepatan dengan 29 Sya`ban 1431 Hijriyah pukul 10.09 WIB."Pada saat matahari terbenam hari itu, hilal sudah wujud 2 derajat lebih. Jadi, tanggal 10 Agustus malam sudah mulai tarawih," tukas Nadjib.

Pria yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur tersebut juga menegaskan, bahwa penghitungan di PW Muhammadiyah Jawa Timur, sama dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. "Hasil penghitungan memang di level provinsi, tapi sama dengan penghitungan dengan PP. Jadi tidak ada perbedaan antara PW dan PP," papar dia.
Disinggung apakah akan ada perbedaaan dengan Nahdlatul Ulama serta pemerintah pusat, Nadjib belum bisa memastikannya. Hanya saja, kata dia, sangat besar kemungkinan awal Ramadhan akan sama dan tidak ada perbedaan."Sepertinya akan sama, sebab hilal sudah wujud lebih dari 2 derajat. Jadi, Insya Allah sama," tuturnya.
Nadjib juga mengaku, hasil penghitungan ini juga akan dikomunikasikan dan dilaporkan ke pemerintah. "Pasti kami laporkan ke pemerinah tentang penghitungan hisab Majelis Tarjih Muhammadiyah ini," tegas pria berambut ikal tersebut. Sementara, lanjut dia, Muhammadiyah Jawa Timur juga mengimbau kepada umat Islam di Indonesia, pada umumnya, untuk menghadapi bulan suci Ramadhan dengan suka cita.
Selain itu, menjadikan Ramadhan sebagai momentum untuk meningkatkan dan memperkokoh tali silaturahmi dengan siapa saja, termasuk keluarga, teman dan semua masyarakat. Muhammadiyah Jawa Timur, kata dia, juga mengimbau kepada masyarakat Islam untuk menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai momentum untuk introspeksi atas segala kesalahan dengan jalan memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. "Mari kita jauhi kemungkaran dan berlomba-lomba demi kebaikan. Apalagi, di bulan Ramadhan, pahala segala kebaikan kita dilipatgandakan pahalanya," ucap Nadjib Hamid.
Read more »

 

KABAR MEDIA

TARBAWI

TIPS 'n TRIK